BAB II
PEMBAHASAN
A. NUSYUZ
- Pengertian
Kata nusyuz dalam bahasa Arab merupakan bentuk mashdar (akar kata) dari kata ”نشز- ينشز- نشوزا” yang berarti: ”duduk kemudian berdiri, berdiri dari, menonjol, menentang atau durhaka.[1] Dalam konteks pernikahan, makna nusyuz yang tepat untuk digunakan adalah “menentang atau durhaka”. sebab makna inilah yang paling mendekati dengan persoalan rumah tangga.
Menurut Al-Qurtubi, nusyuz adalah:
تخا فون عصبيانهن وتعا لبيهن عما اوجب الله عليهن من طا عةالزج
“mengetahui dan meyakini bahwa isteri itu melanggar apa yang sudah menjadi ketentuan Allah dari pada taat kepada suami”[2]
Sedangkan menurut istilah, dalam kitab Al-Bajuri dikatakan bahwa Nusyuz adalah:
ألنشوز هو الخروج عن الطا عة مطلقا أو من الزوجة أو من الزوج أو من هما
“nusyuz adalah keluar dari ketaatan (secara umum) dari isteri atau suami atau keduanya”.[3]
Dari beberapa definisi di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan nusyuz adalah pelanggaran komitmen bersama terhadap apa yang menjadi kewajiban dalam rumah tangga. Adanya tindakan nusyuz ini adalah merupakan pintu pertama untuk kehancuran rumah tangga. Untuk itu, demi kelanggengan rumah tangga sebagaimana yang menjadi tujuan setiap pernikahan, maka suami ataupun isteri mempunyai hak yang sama untuk menegur masing-masing pihak yang ada tanda-tanda melakukan nusyuz.
ألنشوز هو الخروج عن الطا عة مطلقا أو من الزوجة أو من الزوج أو من هما
“nusyuz adalah keluar dari ketaatan (secara umum) dari isteri atau suami atau keduanya”.[3]
Dari beberapa definisi di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan nusyuz adalah pelanggaran komitmen bersama terhadap apa yang menjadi kewajiban dalam rumah tangga. Adanya tindakan nusyuz ini adalah merupakan pintu pertama untuk kehancuran rumah tangga. Untuk itu, demi kelanggengan rumah tangga sebagaimana yang menjadi tujuan setiap pernikahan, maka suami ataupun isteri mempunyai hak yang sama untuk menegur masing-masing pihak yang ada tanda-tanda melakukan nusyuz.
2. Macam – Macam Nusyuz
v Nusyuz Perempuan / istri
Dalil al-Qur’an mengenai nusyuz perempuan ini ada misalnya pada surat An-nisa’ ayat 34:
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. (An-Nisa’ : 34 )[4]
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. (An-Nisa’ : 34 )[4]
Asbab an-uzul ayat ini turun, berkenaan dengan kasus seorang yang memukul isterinya karena berlaku nusyuz, kemudian dia mengadu kepada Rasulullah.[5] Selanjutnya Rasulullah menetapkan hukuman qishas atas suami tersebut, maka turunlah ayat 114 surat Thaha sebagai teguran kepada Rasulullah karena keputusan yang “tidak pas”. Maka turunlah ayat an-Nisa’ ayat 34 ini.
Tanda-tanda nusyuz perempuan (isteri) itu antara lain:
- tidak cepat menjawab suaminya berdasarkan bukan kebiasaan
- tidak nyata atau tidak jelas penghormatan kepada suaminya
- tiada mendatangi suami kecuali dengan bosan, jemu atau dengan muka yang cemberut.
- seorang isteri yang jika diajak untuk berhubungan intim, dia menolak. Akan tetapi, kita harus lebih adil melihat alasan isteri untuk tidak mau berhubungan. Kalau alasannya rasional, seperti sedang sakit, kelelahan atau tidak dalam keadaan siap hatinya, maka suami tidak berhak untuk memaksakan.
Para Imam mazhab yang empat juga mengemukakan beberapa tanda nusyuz isteri lainnya:
Pertama, Nusyuz dengan ucapan adalah apabila biasanya kalau dipanggil, maka ia menjawab panggilan itu, atau kalau diajak bicara dia biasanya bicara dengan sopan dan dengan ucapan yang baik. Tetapi kemudian dia berubah, apabila dipanggil, maka ia tidak mau lagi menjawab, atau kalau diajak bicara ia acuh tidak peduli (cuek) dan mengeluarkan kata-kata yang jelek”.
Pertama, Nusyuz dengan ucapan adalah apabila biasanya kalau dipanggil, maka ia menjawab panggilan itu, atau kalau diajak bicara dia biasanya bicara dengan sopan dan dengan ucapan yang baik. Tetapi kemudian dia berubah, apabila dipanggil, maka ia tidak mau lagi menjawab, atau kalau diajak bicara ia acuh tidak peduli (cuek) dan mengeluarkan kata-kata yang jelek”.
Kedua, nusyuz dengan perbuatan adalah apabila biasanya kalau diajak tidur, maka ia menyambut dengan senyum dan wajah berseri. Tapi kemudian berubah menjadi enggan, menolak dengan wajah yang kecut. Tetapi kalau biasanya apabila suaminya datang ia langsung menyambutnya dengan hangat dan menyiapkan semua keperluannya. Tetapi kemudian berubah jadi tidak mau peduli lagi.[6]
Dalam kompilasi hukum Islam, soal Nusyuz juga diatur. Beberapa pasal menegaskan hak dan kewajiban suami dan istri.
Pasal 80
1) suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami dan isteri.
2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup beruma tangga sesuai dengan kemampuannya.
3) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
4) Sesuai dengan pengahsilannya suami menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c. biaya pendidikan bagi anak.
Pasal 83
1) Kewajiban utama bagi seorang isteri adalah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam;
2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga dengan sebaik-baiknya;
Pasal 84
1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah;
2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isteriya tersebut pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali setelah isteri tidak nusyuz.
4) Ketentuan tentang ada atau tidaknya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.[16]
Sayangnya, dalam Kompilasi Hukum Islam ini tidak dikenal adanya nusyuz yang dilakukan suami. Padahal Islam jelas menegaskan nusyuz bia dilakukan suami dan isteri. Bahkan, dalam banyak riwayat dikatakan suami lebih besar peluangnya untuk melakukan nusyuz.
2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isteriya tersebut pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali setelah isteri tidak nusyuz.
4) Ketentuan tentang ada atau tidaknya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.[16]
Sayangnya, dalam Kompilasi Hukum Islam ini tidak dikenal adanya nusyuz yang dilakukan suami. Padahal Islam jelas menegaskan nusyuz bia dilakukan suami dan isteri. Bahkan, dalam banyak riwayat dikatakan suami lebih besar peluangnya untuk melakukan nusyuz.
Cara penyelesaian
Jika isteri melakukan nusyuz, ada beberapa cara yang bisa ditempuh suami untuk meredakan nusyuz sang isteri. Surat an- Nisa’ ayat 34 menjelaskan:
“Wanita-wanita yang kamu khawatir nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. (An-Nisa:34)[7]
Bedasarkan ayat tersebut, sekurangnya ada tiga cara menghadapi isteri yang melakukan nusyuz. :Pertama, menasehati dengan tegas agar ia dapat kembali menjalankan kewajibannya dengan baik sebagai istri. Peringatan yang diberikan sepatutnya mengarahkan kepada pemulihan hubungan dalam rumah tangga. Disini suami dituntut bijaksana dalam perkataan dan perbuatan. Tegas bukan berarti kasar.
Kedua, berpisah tempat tidur. Cara ini baru dilakukan jika cara yang pertama tidak mempan. Kalimat “واهجروهن” (pisahkan mereka) dalam surat An-Nisa ayat 34 ditafsirkan sebagian ulama sebagai tindakan seorang suami tidak melakukan hubungan seksual atau tidak diajak bicara sekalipun tetap berhubungan seksual. Bisa juga suami boleh tidur bersama sampai istri kembali taat. Atau tidak didekatkan ranjangnya dengan isteri.[8]
Ketiga, jika cara pertama dan kedua tidak bisa membuat isteri berubah menjadi taat kepada komitmen bersama dalam membangun rumah tangga, maka jalan terakhir adalah dengan memukulnya. Akan tetapi pemukulan di sini tidak bisa diartikan sebagai memukul dengan tangan atau alat secara kasar apalagi melukai.
v Nusyuz Laki – Laki / Suami
Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 128 sbb:
“Dan jika wanita khawatir tentang nusyuz[9] atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya[10], dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir[11]. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu dengan baik dan mereka memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (an-Nisa’ : 128).[12]
Untuk mengetahui maksud ayat diatas, maka kita perlu mengetahui asbab an-Nuzulnya. Ayat ini turun berkenaan dengan kasus yang menimpa Saudah (isteri Rasulullah). Ketika beliau sudah tua, Rasulullah hendak menceraikannya, maka ia berkata kepada Rasulullah:
“Wahai Rasulullah:”jangan engkau mencerai aku, bukankah aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan menjadi isterimu, maka tetapkanlah aku menjadi isterimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah ”.
Maka Rasulullah pun mengabulkan permohonan Saudah. Ia pun ditetapkan menjadi isteri beliau sampai meninggal dunia[13] Maka dengan kejadian tersebut, turunlah ayat an-Nisa’ 128.
Nusyuz suami, pada dasarnya adalah jika suami tidak memenuhi kewajibannya, yaitu :
“Wahai Rasulullah:”jangan engkau mencerai aku, bukankah aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan menjadi isterimu, maka tetapkanlah aku menjadi isterimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah ”.
Maka Rasulullah pun mengabulkan permohonan Saudah. Ia pun ditetapkan menjadi isteri beliau sampai meninggal dunia[13] Maka dengan kejadian tersebut, turunlah ayat an-Nisa’ 128.
Nusyuz suami, pada dasarnya adalah jika suami tidak memenuhi kewajibannya, yaitu :
1.Memberikan mahar sesuai dengan permintaan isteri;
2.Memberikan nafkah zahir sesuai dengan pendapatan suami
3.Menyiapkan peralatan rumah tangga, perlengkapan dapur, perlengkapan kamar utama seperti alat rias dan perlengkapan kamar mandi sesuai dengan keadaan dirumah isteri.
4.Menyiapkan pembantu bagi isteri yang dirumahnya memiliki pembantu;
5.Menyiapkan bahan makanan minuman setiap hari untuk isteri anak-anak dan pembantu kalau ada
6.Memasak, mencuci, menyetrika dan pekerjaan rumah;
7.Memberikan rasa aman dan nyaman dalam rumah tangga;
8.Membayar upah kepada isteri, kalau isteri meminta bayaran atas semua pekerjaan.[14]
9.Berbuat adil, apabila memiliki isteri lebih dari satu;
10.berbuat adil diantara anak-anaknya.
7.Memberikan rasa aman dan nyaman dalam rumah tangga;
8.Membayar upah kepada isteri, kalau isteri meminta bayaran atas semua pekerjaan.[14]
9.Berbuat adil, apabila memiliki isteri lebih dari satu;
10.berbuat adil diantara anak-anaknya.
Cara penyelesaian
Dalam nusyuz suami ini yang ditekankan cara penyelesaiannya adalah dengan ishlah (perdamaian), akan tetapi jika hal ini tidak berhasil maka suami dan isteri harus menunjuk hakam dari kedua belah pihak. Hakam ini bisa datang dari keluarga, tokoh masyarakat atau pemuka agama. Bisa juga melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 35 sbb:
“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka angkatlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”.
Apabila dengan cara tersebut masih belum tercapai kata damai, maka hakim boleh menjatuhkan ta’zir. Ta’zir dari segi bahasa bermakna mendidik atau memperbaiki, sedangkan menurut istilah, ta’zir adalah mengajarkan adab atau mengambil tindakan atas dosa yang tidak dikenakan hukuman “had” dan tidak ada “kafarah”. Seperti nusyuz suami ini.
Adapun bentuk-bentuk ta’zir yang bisa dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan kesalahan yang tidak bisa di “had” dan “kafarah” sepeti dalam kasus nusyuz suami ini, yaitu sbb:
v pemukulan yang tidak melukai;
v tempelengan yaitu pemukulan dengan keseluruhan telapak tangan;
v penahanan (penjara);
v mencela dengan perkataan;
v mengasingkan dari daerah asal sampai pada jarak tempuh yang boleh melakukan qasar;
v memecat dari kedudukannya;
Bentuk dan jenis ta’zir ini diserahkan kepada pemerintah atau pejabat yang berwenang
Apabila degan jalan ta’zir ini suami masih saja melakukan nuysuz, maka perempuan (isteri) bisa menempuh jalur hukum juga berupa fasyahk. Hal ini bisa dilakukan apabila suami tidak memberikan nafkah selama 6 bulan.
3. Akibat Nusyuz
Sebagai akibat hukum dari perbuatan nusyuz menurut jumhur ulama, mereka sepakat bahwa isteri yang tidak taat kepada suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari isteri) tanpa adanya suatu alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i atau secara ‘aqli maka isteri dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah. Dalam hal suami beristeri lebih dari satu (poligami) maka terhadap isteri yang nusyuz selain tidak wajib memberikan nafkah, suami juga tidak wajib memberikan giliranya. Tetapi ia masih wajib memberikan tempat tinggal.
Sedangkan untuk nusyuz suami, maka istri boleh melaporkannya kepada hakim pengadilan untuk memberikan nasehat kepada suami tersebut apabila si suami belum bisa di ajak damai dengan cara musyawarah. Demikian menurut pendapat Imam Malik.
B. SYIQAQ
1. Pengertian
Kata Syiqaq berasal dari bahasa arab”Syiqaqa” yang berarti sisi; perselisihan; (al khilaf); perpecahan; permusuhan; (al adawah); pertentangan atau persengketaan.[15] Dalam bahasa melayu diterjemahkan ddengan perkelahian.
Sayuti thalib mengartikan syiqaq dengan keretakan yang sangat hebat antara suami istri.[16] Menurut istilah fiqih ialah perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri.[17] Maksudnya apabila terjadi perselisihan yang sudah jauh diantara suami istri, maka hendaknya didatangkan pihak ketiga yang bertindak sebagai hakam(arbiter), dari keluarga suami dan dari keluarga istri.[18] Rumusan definisi di atas, sama dengan rumusan Irfan Sidqanyang mendefinisikan syiqaq secara terminologis, yakni keadaan perselisihan yang terus-menerus antara suami istri yang dikhawatirkan akan menimbulkan kehancuran rumah tangga atau putusnya perkawinan. Oleh karena itu, diangkatlah dua orang penjuru pendamai(hakam) untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.[19] Definisi syiqaq menurut fuqaha ialah perselisihan antara suami istri yang dikhawatirkan akan memutus hubungan perkawinan, untuk menyelesaikan diangkatlah hakamain.
Dalam penjelasan pasal 76 ayat 1 UU No. 7 tahun 1989 syiqaq diartikan sebagai perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri.
Pengertian syiqaq yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah memenuhi pengertian yang terkandung dalam Surat An Nisa’ ayat 35. Pengertian dalam undang-undang ini mirip dengan apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 huruf f UU No.1 tahun 1974 jis pasal 19 huruf f PP No.9 tahun 1975, pasal 116 kompilasi hukum islam ;”antara suami, dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”
2. Cara penyelesaian
1. Ketika permasalahan yang dihadapi suami istri masih menemukan jalan buntu, maka perlu dihadirkan dua orang dari pihak suami maupun istri yang disebut hakamain. Bisa jadi kedua orang tersebut dari kalangan keluarga mereka dan boleh juga memang hakim yang diberikan wewenang pemerintah untuk bertugas sebagai penengah perkara yang tengah dihadapai oleh suami maupun istri.
2. Apabila tidak ditemukan lagi jalan keluar, sedangkan seluruh usaha dan cara sudah dilakukan, maka di saat itu seorang suami diperkenankan memasuki jalan terakhir yang dibenarkan oleh Islam, sebagai suatu usaha memenuhi panggilan kenyataan dan menyambut panggilan darurat serta jalan untuk memecahkan problema yang tidak dapat diatasi kecuali dengan berpisah yakni dengan thalaq/cerai.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa :
- Nusyuz adalah tindakan istri yang dapat ditafsirkan menentang atau membandel atas kehendak suami. Begitu pula sebaliknya. Tentu saja sepanjang kehendak tersebut tidak bertentangan dengan hukum agama. Apabila kehendak tersebut bertentangan atau tidak dapat dibenarkan oleh agama, maka suami/istri berhak menolak. Dan penolakan tersebut bukanlah termasuk nusyuz ( durhaka ).
- Macam-macam nusyuz adalah nusyuznya istri terhadap suami dan nusyuznya suami terhadap istri
- Jika terjadi nusyuz, maka penyelesaiannya, pertama dengan nasihat, kedua dengan hijrah tempat tidur (mendiamkannya, bukan berarti pisah ranjang), ketiga dengan pukulan ringan selain wajah dan bagian kepala.{apabila yang melakukan nusyuz adalah istri}. Sedangkan apabila yang melakukan nusyuz adalah suami, maka cara penyelesaiannya adalah dengan istri yang mengajak suami bermusyawarah untuk menyelesaikan masalah tersebut baik-baik. Apabila tidak bisa, maka jalan yang kedua adalah mengahdirkan hakam dari pihak suami dan istri untuk berunding.
- Syiqaq adalah putusnya ikatan perkawinan. Hal tersebut mungkin timbul disebabkan oleh prilaku dari salah satu pihak.
- Cara menyelesaikanya adalah dihadirkan dua orang dari pihak suami maupun istri yang disebut hakamain.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Gozi , Ali Ibnu Qasim. Al-Bajuri,juz II
Al-Qurthubi, Abu Adillah bin Muhammad. Jami’ ahkami Qur’an jilid III. Bairut: Dar Al-Fikr
Al-Thabary, Abu Ja’far. Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil ‘Ayil Qur’an, Jilid V.
As-Syuti Jalaluddin. Al-Durru Al-Mansyur. Bairut:Dar al-Fikr
Departemen Agama RI. 1989. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: CV. Toha.
Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahannya. PT. Sari Agung
Mukhtar, Kamal. 1993. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinanan, Cet. III. Jakarta: Bulan Bintang
Munawir, Ahmad Warsan. 1994. Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta:Pustakan progresip
Thalib, Sayuti. 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI Press
[1] Ahmad Warsan Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta, Pustakan progresip, 1994 : 1517.
[2] Abu Adillah bin Muhammad al-Qurthubi, Jami’ ahkami Qur’an, Dar Al-Fikr, Bairut, Gilid III, hal : 150
[6] Lihat al-Bayan syarah al-Muhazzab,Imam Abu al-Husen Yahya bin Abu al-Khair Salim al-Imrany al-Yamany 558 H, Dar al-Minhaj Jedah, Arab Saudi, bab an-Nusyuz, jilid IX, hal 528.
[9] Sikap nusyuz dari suami dapat berupa bersikap keras (kasar) terhadap isterinya, termasuk juga tidak mau melayani isteri dalam hubungan jima’ dan juga tidak mau memberi nafkah.
[11] Tabi’at manusia itu tidak mau melepaskan sebagian haknya kepada orang lain dengan seihlas hatinya, kendatipun demikian jika isteri melepaskan sebagian hak-haknya maka suami boleh menerimanya.
[14] Lihat surat al-Thalaq ayat 6 tentang kewajiban suami memberikan nafkah isteri yang menyusui anak-anaknya yang masih kecil.
[15] Irfan Sidqon, op. cit., hlm. 12-13
[16] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 95.
[17] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinanan, Cet. III, Bulan Bintang, Jakarta, 1993 hlm. 188.
[18] Djamil Latief, Op. cit., hlm.35.
[19] Irfan Sidqon, Loc. cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar